.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Saat saya menulis untuk memberikan sebuah motivasi, saya terbiasa membaca kisah-kisah motifatif dari banyak tokoh dunia. Dengan membaca kisah hidup dan perjuangan mereka, saya menjadi tersemangati. Saya menjadi termotivasi, tersemangati.

Kadang saya membuka youtube, untuk mencari video penggugah semangat. Perjuangan orang-orang dalam meraih sukses, sangat menggugah jiwa. Dengan berbagai keterbatasan, mereka bisa mencapai keberhasilan. Kisah-kisah nyata tersebut, sangat memotivasi.

Dalam situasi saya memiliki suasana jiwa yang penuh motivasi, saya mudah untuk menuliskan kalimat-kalimat yang memotivasi orang lain. Rasanya mustahil saya bisa memotivasi orang lain, apabila saya berada dalam suasana lesu tak bertenaga.

Demikian pula saat saya ingin menulis tentang kesedihan, saya mencari video di youtube tentang peristiwa kehidupan serta realitas yang menyedihkan. Saya bisa menangis saat menyaksikan kegetiran hidup warga masyarakat yang kesulitan. Saya bisa merasakan kesedihan mendalam saat menyaksikan kisah-kisah mengharukan.

Dalam situasi hati saya sedih —apalagi sampai menangis, maka saya bisa menulis dengan memasukkan emosi kesedihan dalam tulisan saya. Kadang saya menulis di laptop sambil berlinang airmata. Kemaren saya menulis kisah hidup seorang sahabat yang belum lama dipanggil Allah, sepanjang menulis saya terus menerus menangis.

Masukkan Diri Anda dalam Suasana Tulisan

Maka jika ingin menghasilkan tulisan yang ‘bernyawa’, masukkan diri Anda dalam suasana tulisan Anda. Misalnya, bagi yang beragama Islam, ketika ingin menulis tentang Al-Qur’an, masukkan diri Anda ke dalam suasananya sebelum menulis. Karena sudah memasuki suasananya, pada saat menulis, Anda benar-benar bisa menghayati dan menghadirkan suasana Qur’ani.

Bagaimana caranya? Misalnya, Anda menetapkan waktu menulis jam 20.00 – 21.00. Maka Anda memulai dengan shalat Isya berjama’ah, dilanjutkan dengan shalat sunnah, dzikir dan tilawah. Nah, suasana yang terbangun dalam diri Anda, sudah berada dalam kesiapan membahas Al-Qur’an.

Setelah selesai tilawah, lanjutkan menulis, masih dalam suasana berwudhu dan pakaian rapi. Ditambah lagi, Anda mendengarkan murattal menggunakan headset selama menulis. Dengan cara ini, semakin kuat lagi suasana Al-Qur’an Anda miliki. Tulisan Anda benar-benar memiliki kekuatan spiritual dari Al-Qur’an.

Demikian pula saat Anda ingin menulis tentang keutamaan dzikir. Sangat bagus kalau sebelum menulis, Anda sudah memasuki suasana dzikir. Bagaimana caranya? Misalnya, Anda menetapkan waktu menulis jam 05.00 – 06.00. Maka Anda memulai dengan shalat Subuh berjama’ah, dilanjutkan dengan dzikir. Nah, suasana yang terbangun dalam diri Anda, sudah berada dalam spiritualitas dzikir.

Usai dzikir, Anda memulai menulis. Sangat bagus jika selama proses menulis Anda mendengarkan dzikir menggunakan headset. Dengan demikian, Anda benar-benar berada dalam suasana kenikmatan dzikir. Tulisan Anda akan mampu mengajak orang lain menikmati dzikir.

Kekuatan Jiwa dalam Tulisan

Bagi Anda yang muslim, pasti pernah mendengar kisah Hasan Al-Basri yang diminta menyampaikan nasehat kepada masyarakat untuk membebaskan budak. Nah, sekarang saya mengubah kisah ini, agar bisa masuk dalam konteks tulis menulis.

Beberapa budak datang kepada Hasan Al Basri, mengadukan praktek perbudakan yang telah membuat mereka menderita. Para budak ini meminta agar setiap hari Jumat, Hasan Al Basri membuat tulisan berisi nasehat dan ajakan orang-orang kaya agar memerdekakan budak-budak. Mereka berpikir, jika ulama kharismatik yang menuliskan ajakan itu, tentu akan lebih didengar.

Hasan Al-Basri berjanji untuk memenuhi permintaan mereka. Pada Jumat pertama, ternyata Hasan Al Basri tidak menulis tentang perbudakan. Jumat kedua dan ketiga pun tidak ada tulisan beliau tentang perbudakan. Beliau menulis tema-tema yang lain.

Pada Jumat keempat, barulah Hasan Al Basri membuat tulisan tentang keutamaan orang yang memerdekakan budak. Begitu tulisan beliau viral di berbagai media, orang-orang yang memiliki budak langsung berlomba melakukan ajakan tersebut. Dalam waktu singkat, sangat banyak budak telah dibebaskan.

Merasa sangat bahagia, para budak kembali mengunjung Hasan Al-Basri untuk mengucapkan terima kasih atas tulisan beliau. Salah seorang di antara mereka mempertanyakan, mengapa lama sekali beliau memenuhi permintaan mereka.

Hasan Al Basri meminta maaf atas keterlambatan tersebut. “Yang membuat saya menunda membuat tulisan ini adalah karena saya tidak memiliki budak, pun juga tidak memiliki uang untuk memebaskan budak. Saya menunggu sampai Allah mengaruniakan harta, sehingga bisa membeli budak, lalu budak itu saya bebaskan. Setelah itu saya baru bisa menulis ajakan untuk membebaskan budak”.

“Allah memberkati ucapanku karena perbuatanku membenarkan ucapanku,” lanjut Hasan Al-Basri.

Kisah yang sesungguhnya adalah, Hasan Al-Basri diminta untuk menyampaikan khutbah Jum’at tentang keutamaan membebaskan budak. Kemudian beliau baru melaksanakan khutbah Jum’at yang mengajak orang-orang kaya membebaskan budak, setelah beliau bisa membeli dan membebaskan budak. Jum’at keempat, beliau baru memenuhi janji kepada para budak dengan mengumandangkan khutbah, yang langsung disambut dengan pembebasan sangat banyak budak.

Nah, jika kita ambil dalam konteks tulisan, apa yang dilakukan Hasan Al-Basri, adalah tulisan yang memiliki jiwa. Karena ditulis dengan sepenuh hati, sepenuh keyakinan, setelah perbuatannya membenarkan isi tulisannya. “Allah memberkati tulisanku karena perbuatanku membenarkan tulisanku.”

Bahan Bacaan

Abbas As-Sisy, Lidah Memberi Petunjuk, Tindakan Seperti Penyamun, www.eramuslim.com, 21 September 2020

Ilustrasi : www.inilah.com

5 thoughts on “Masukkan Diri Anda ke Dalam Suasana Tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.