.

Oleh : Ida Kusdiati, ID – 01301 EEPK 2020

.

Langit biru dengan barisan awan tipis mulai mewarnai langit Kota Pontianak, setelah dua hari berturut-turut di guyur hujan.

Ahad pagi seperti biasa adalah waktu rutin bagiku merawat Ibu yang terbaring lumpuh karena stroke sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ahad pekan ini aku bertugas full menjaga Ibu karena adik yang biasanya bergilir dalam mengasuh ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan.

Malam hari sebelumnya aku dan Ayah berdiskusi tentang kegiatan anak-anak esok terutama dua terkecil, mengingat kakak di atasnya sudah memiliki agenda sendiri.

“Tenang, Ma. Ayah sudah punya solusi, besok kolam pelampung akan Ayah pompa dan isikan airnya. Biar Azka bisa berenang bersama Abang dan teman-temannya.” Ayah memberikan solusi tepat mengatasi kebuntuanku akan ide.

Setelah menyelesaikan logistik di rumah, tak ingin kehilangan kesempatan menulis di sela agenda merawat Ibu aku membawa perlengkapan HP, laptop, buku catatan dan perangkat pendukung lainnya.

“Azka, Mama ijin mau ke rumah Mbah Uti.” Aku minta ijin ke anak paling bungsu, Azka.

“Ya, Ma. Tapi Mama pakaikan Azka baju berenang dulu, baru ke rumah Mbah,” jawabnya dengan mata berbinar dan perasaan senang karena Ayah yang menjanjikan kolam renang.

Alhamdulillah kalau soal mengasuh, Azka sudah punya pemahaman bahwa itu kewajiban Mama dan tak ada protes tentang masalah ini.

“Ok, Mama ambilkan dan langsung pakai ya, karena Mama buru-buru. Mbah belum sarapan,” jawabku.

Azka mengikuti langkahku ke kamar, dan langsung mengenakan baju renangnya. Selesai dengan Azka, mengambil kunci motor meluncur ke rumah Ibu.

Saat sampai di rumah Ibu, beliau masih tertidur pulas, aku memandangi wajah tua yang menurutku tetap cantik mempesona.

Sambil memandangi wajahnya aku teringat perkataan Pak Cah, “Penulis biasa itu tidak perlu bakat, yang di butuhkan tekad.” Aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku memang punya bakat menulis? Atau hanya modal tekad?

Memandang wajah Ibu teringat beliau sosok yang penuh dengan jiwa seni. Kemampuanku mengarang puisi, membuat cerita dan naskah drama waktu SD dan SMP karena Ibunda.

Masih teringat kala Ibunda memintaku ikut lomba mengarang cerita saat SD.

“Buat saja dulu, tulis saja apa yang mau kamu ceritakan, nanti Ibu yang bantu mengeditnya,” ujar Ibu, yang kami kenal sangat suka menulis.

Waktu adik kuliah di Jogja saat teknologi komunikasi belum secanggih saat ini, maka menulis surat adalah pilihan terbaik.

Ibu bisa menulis minimal tiga lembar halaman folio surat untuk adik, dan itu per dua minggu. Meskipun isinya kami tahu adalah pesan yang berulang-ulang bahkan sebelum membacanya kami sudah tahu apa tema isi surat Ibu.

“Ya Allah, ternyata kesenanganku menulis saat ini adalah buah darinya.” Tak terasa bulir panas hadir di pelopuk mataku. Perlahan kuciumi wajah tua yang aromanya bak bayi tak berdosa.

Sesaat setelah haru berlalu masih dengan memandang wajahnya aku seperti menemukan barisan ide tulisan. Segera kuambil pulpen dan kertas mulai mencoret-coret beberapa tema dan kata kunci yang terlintas di kepalaku. Inilah yang kusebut sebagai “momen”.

Mengapa momen? Sebenarnya ini bagian dari mengamalkan materi Pak Cahyadi Takariawan di Kelas Emak-Emak Punya Karya tentang waktu, pilihan tempat dan sarana menulis.

Bagiku menulis tidak terikat sumber ide, waktu dan tempat. Saat momen itu datang, tangkap dan manfaatkan. Saat tak mungkin berpanjang kata, tinggalkan. Saat keluangan waktu seberapapun banyaknya, lanjutkan dan tuntaskan. Maka menuliskannya akan menjadi semudah bernapas.

Maka Emak jika merasakan sudah mendapatkan “momen” segera tangkap dan optimalkan sebaik mungkin. Sekali duduk bisa mendapatkan minimal 2.000 karakter. Seperti aku saat ini.

Terima kasih Pak Cah, Anda mengingatkan kembali pada sumber inspirasi menulisku “Ibunda tercinta” dan “momen” yang harus kuwujudkan sendiri.

Wallahu a’lam.

.

Reportase Kelas “Emak- Emak Punya Karya”

Pontianak 27 Juli 2020.

1 thought on “Momen Menghadirkan Tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.