Oleh : Cahyadi Takariawan

Sejak UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diberlakukan, sangat banyak kasus menimpa warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, pendapat, polemik, hingga menyampaikan protes serta kritik kepada pemerintah maupun pihak-pihak lain.

Berdasarkan data “Southeast Asia Freedom of Expression Network” (SAFENet), sepanjang tahun 2016 lalu, ada lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan pencemaran nama baik, penodaan agama, dan ancaman, yang berbasiskan UU ITE.

SAFENet juga mencatat munculnya 4 (empat) pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik dan terapi kejut, yang sangat berbeda dengan tujuan awal dibentuknya UU ITE.

UU No. 11 Tahun 2008 sekarang telah direvisi dengan UU No. 19 tahun 2016 pada bulan Oktober 2016 lalu. Namun UU baru itu dinilai tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya.

Pasal 27 ayat 1 sampai 4 UU ITE menyatakan larangan mengunggah dan menyebarluaskan hal-hal yang melanggar kesusilaan, memuat perjudian, memuat penghinaan dan pencemaran nama baik, serta yang bermuatan pemerasan dan pengancaman.

Pasal 28 ayat 1 dan 2 mengatur tentang penyebaran berita bohong dan menyesatkan, serta informasi SARA. Pasal 29 mengatur tentang informasi berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Sanksi pidana bagi yang melakukan pasal 27 diatur di Pasal 45 ayat 1:  Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Perbuatan yang sesuai dengan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik merupakan perbuatan yang melawan hukum dengan sanksi pidana yang juga disebut sebagai kriminal. Pasal 27 ayat 3 inilah yang dipakai banyak kalangan untuk melaporkan tulisan dan status di media sosial.

Dari pasal 27, 28 dan 29 UU ITE tersebut, semestinya masyarakat semakin bijak dan dewasa dalam bermedia sosial agar tidak melanggar UU. Berbeda dengan komunikasi langsung melalui kata-kata verbal, kata-kata yang ditulis di media sosial memiliki dampak yang sangat luas tanpa batas.

Maka saat memposting atau mengunggah sesuatu, baik berupa dokumen, artikel, opini, berita, tulisan, gambar, dan lain sebagainya, harus dipertimbangkan dampaknya bagi penulis maupun bagi orang lain. Hendaklah selalu diingat, bahwa apapun yang kita unggah melalui media sosial, bisa dibaca, dilihat, dan diakses oleh seluruh pengguna media sosial dimanapun mereka berada.

Dari kacamata Undang-undang, hendaknya semua tulisan yang kita publikasikan, baik melalui blog, web, facebook, twitter, instagram, path dan lain-lain, dipastikan aman dari unsur-unsur yang dimaksud dalam pasal 27, 28 dan 29 UU ITE. Di antaranya adalah:

  1. Penyebaran tulisan yang melanggar kesusilaan
  2. Penyebaran tulisan yang memuat perjudian
  3. Penyebaran tulisan yang memuat penghinaan dan pencemaran nama baik
  4. Penyebaran tulisan yang bermuatan pemerasan dan pengancaman
  5. Penyebaran berita bohong dan menyesatkan (hoax)
  6. Penyebaran tulisan yang mengandung kebencian bermotif SARA
  7. Penyebaran tulisan berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Isi dari UU ITE tentu saja tidak hanya terkait dengan tulisan, karena makna informasi sangatlah luas. Namun dalam kaitan dengan dunia tulis menulis, maka hendaklah para penulis memahami sisi-sisi hukum dari setiap tulisan yang kita publikasikan.

Mari terus menulis untuk menebar cinta, kasih sayang, kebaikan, kemanfaatan, kebenaran, kepedulian, dan kemanusiaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.